Salah satu bentuk persiapan terbaik dalam rangka penyambutan istimewa bagi kehadiran bulan suci Ramadhan yang segera tiba, adalah dengan melakukan pembersihan hati dan penyucian jiwa (thath-hirul qalb wa tazkiyatun-nafs). Dan tobat merupakan salah satu wasilah (sarana) terbaik untuk tujuan itu. Karena mengapa hati perlu dibersihkan, dan jiwa harus disucikan, adalah karena hati dan jiwa itu kotor dan penuh noda. Dan yang mengotorinya adalah dosa-dosa (QS. Al-Muthaffifin:14). Sedangkan cara pembersihan hati dari noda-noda dosa, dan jalan penyucian jiwa dari kotoran-kotoran maksiat, adalah melalui tobat.
Dalam sebuah hadits: "Jika seorang hamba melakukan suatu dosa, maka satu noktah (noda) hitampun langsung menempel di hatinya. Jika ia segera sadar, tobat dan beristighfar, maka hatinyapun menjadi bersih kembali. Adapun apabila ia malah menambah dengan dosa-dosa lain, maka akan bertambah pulalah noktah-noktah hitam itu, sampai (jika tetap tidak tobat) benar-benar menutupi seluruh hatinya…" (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan ain-lain).
Oleh karena itu perintah, seruan dan anjuran untuk bertobat ini, tersebar di banyak ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): "Dan bertobatlah kalian semuanya kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung dan berjaya" (QS. An-Nuur: 31). Di dalam ayat lain: “Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kalian kepada Allah dengan cara taubatan nashuha (tobat yang benar-benar murni dan tulus)…” (QS. At-Tahriim: 8).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Sungguh aku beristighfar dan bertobat kepada Allah dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali” (HR. Al-Bukhari). Dalam riwayat lain: "Wahai umat manusia, bertobatlah kepada Allah. Sungguh aku bertobat kepada Allah dalam sehari seratus kali" (HR. Muslim).
Tentu saja masih banyak lagi ayat dan hadits yang memerintahkan dan menganjurkan kita untuk bertobat, juga yang menjelaskan tentang beragamnya fadhilah dan keutamaan syariah tobat ini. Namun yang menjadi pertanyaan adalah: bagaimana cara bertobat? Apa itu taubatan nashuha? Bagaimana tobat dan istighfar yang disamping menghapuskan dosa, menyucikan jiwa dan membersihkan hati, juga sekaligus benar-benar efektif untuk menutup jalan bagi terulangnya dosa-dosa itu lagi?
Karena tidak sedikit orang yang mengeluhkan kondisi diri dan hati mereka, serta menanyakan dan mempertanyakan, mengapa dosa-dosa masih saja selalu terulang lagi dan lagi? Padahal mereka merasa telah melakukan tobat darinya dan telah beristighfar sampai ratusan atau bahkan ribuan kali?.
Yang perlu diperhatikan dan diingat disini bahwa, hal terpenting dalam pelaksanaan tobat dan istighfar itu, adalah sikap hati yang benar-benar jujur dan sungguh-sungguh dalam melakukan taubatan nashuha. Dimana secara totalitas kembali kepada Allah Ta’ala dengan upaya sepenuhnya menjalankan syarat-syarat dan konsekuensi tobat.
Nah, umumnya faktor penyebab tidak atau kurang efektifnya tobat sebagai penutup pintu terulangnya dosa-dosa, adalah karena kurangnya kesungguhan dan sikap totalitas hati ini dalam memenuhi tuntutan dan konsekuensi dari syarat2 tobat yang telah disebutkan oleh para ulama. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan bahwa, syarat tobat itu ada tiga: menyesali dosa yang telah diperbuat, meninggalkannya, dan berazam (bertekad) tidak mengulanginya lagi di kemudian hari. Adapun jika dosa dan kesalahan itu berhubungan dengan pelanggaran terhadap hak sesama, maka ada satu lagi syarat tambahan, syarat keempat, yakni: menyelesaikan urusan dengan pihak yang haknya dilanggar itu. Namun disini kita hanya akan fokus pada tiga syarat pertama. Karena itulah inti dan esensi dari penunaian tobat.
Selanjutnya, mungkin saja seseorang yang bertobat telah merasa memenuhi ketiga syarat utama tersebut. Dan untuk membuktikan tobatnya, iapun telah memperbanyak istighfar, shalat, puasa, bacaan atau bahkan hafalan Al-Qur’an dan amal-amal saleh lainnya. Namun yang “aneh” mengapa semua itu seakan-akan tidak cukup mempan dan tidak efektif? Karena tidak lama berselang, ternyata dosa-dosa yang sama serasa begitu mudahnya kembali dan terulang lagi dan lagi?
Memang bukan merupakan syarat sahnya taubatan nashuha, bahwa dosa yang telah dilakukan tobat darinya itu harus dijamin tidak akan pernah terulang lagi. Demikian pula bukanlah itu maksud dari syarat ketiga diatas. Sehingga tetap saja ada kemungkinan terulangnya dosa tertentu suatu saat, meskipun sebenarnya sang pelaku telah pernah bertobat dengan taubatan nashuha. Dan hal itupun tidak membatalkan tobat yang telah dilakukan. Juga tidak selalu mengindikasikan bahwa tobatnya dulu itu bukan taubatan nashuha.
Jadi sekali lagi, meskipun seseorang telah melakukan tobat yang sungguh-sungguh sesuai dengan syarat-syaratnya, tetap tidak tertutup kemungkinan bagi terulangnya dosa yang sama sewaktu-waktu. Hanya saja sifatnya tetap sebagai pengecualian, sehingga kejadiannyapun juga jarang.
Namun yang kita bicarakan bukanlah tentang kondisi pengecualian ini. Melainkan seputar kondisi terulangnya dosa-dosa setelah dilakukan tobat, yang sifat dan terjadinya bisa dikatakan agak fenomenal, karena memang dialami oleh banyak pihak. Yakni – seperti yang digambarkan dimuka – tentang tobat yang dilakukan dengan berbagai sarana pendukung dan pembuktiannya, tapi dirasa tidak begitu efektif untuk menghentikan tindak maksiat dan prilaku dosa. Ada apa gerangan? Apa yang salah atau kurang? Padahal ketiga syarat itu rasanya telah terpenuhi semuanya?
Pertanyaan-pertanyaan barusan ini bagus. Karena upaya menjawabnya insya-allah akan menyingkap tabir “misteri”. Kaidahnya bahwa, tobat semestinya menciptakan perubahan signifikan dalam diri dan kehidupan seorang mukmin atau mukminah, melalui penghentian dosa dan maksiat. Sehingga ketika hal itu tidak terjadi, maka hampir bisa dipastikan bahwa, jelas “ada apa-apa” dengan tobat yang dilakukan. Dan meskipun benar bahwa, syarat-syarat tobat dirasa telah terpenuhi, namun jelas ada juga fakta benar lain. Yakni bahwa, hampir pasti masih ada yang salah dan yang kurang dalam pemenuhan masing-masing syarat tersebut. Dan kesalahan atau kekurangan itulah yang memang merupakan kendala utama tobat pada umumnya. Sehingga, karenanya, tobat terasa hambar, karena tidak dirasakan benar-benar merubah secara signifikan, atau serasa tidak “menggigit” dalam mencegah dan menghentikan maksiat dan dosa. Istighfar tidak henti dilantunkan, namun maksiat dan dosa juga tetap berlasung terus, hampir tanpa tercegah atau terhentikan oleh istighfar-istighfar itu (?!).
Ya. Sekali lagi apa yang salah dan yang kurang dari pemenuhan syarat tobat tersebut? Yang salah atau yang kurang adalah tingkat kesungguhan dan kejujuran serta kadar totalitas dalam memenuhi tuntutan dan konsekuensi setiap syarat. Benar, Setiap syarat dari syarat-syarat tobat itu memiliki tuntutan dan konsekuensi, yang mesti dipenuhi untuk menjadikan tobat benar-benar sebagai taubatan nashuha, yang pasti akan langsung terasa pengaruh besarnya dalam penghentian maksiat dan dosa, serta perubahan signifikannya dalam diri dan prilaku yang bersangkutan.
Tuntutan dan konsekuensi dari syarat pertama yang berupa penyesalan atas dosa yang telah diperbuat, adalah bahwa penyesalan itu harus benar-benar terjadi dan muncul dari kesadaran keimanan berupa rasa takut dan malu kepada Allah. Bukan hanya karena takut akan akibat buruknya di dunia saja misalnya, atau hanya disebabkan oleh rasa malu kepada masyarakat semata. Disamping itu, yang tidak kalah pentingnya, adalah bahwa rasa penyesalan itu haruslah minimal setara dengan tingkat dan kadar dosa, atau bahkan lebih tinggi lagi, asalkan tidak sampai berlebihan. Ini yang umumnya kurang tersadari dengan baik, sehingga akibatnya kurang bisa terpenuhi secara memadai. Misalnya: seseorang yang berdosa dengan dosa besar, namun penyesalan yang mendasari upaya tobatnya hanya berlevel untuk dosa kecil saja. Sehingga logis jika tidak atau kurang efektif pengaruh dan hasil tobatnya untuk menghentikan dosa besar. Karena memang kurang atau tidak selevel. Ibaratnya seperti orang yang memiliki tanggungan hutang, yang ia akui dan sanggupi untuk membayarnya. Namun ternyata pengakuan dan kesanggupan pengembalian itu tetap tidak diterima oleh pihak pemberi hutang, dan sebaliknya justru membuatnya marah besar! Ya, bagaimana tidak marah? Lha wong yang diakui oleh yang bersangkutan hanya 1 juta saja misalnya, padahal sebenarnya hutangnya mencapai 100 juta!
Sebagai tambahan gambaran tentang bagaimana seharusnya sikap dan rasa takut serta penyesalan seorang mukmin dan mukminah terhadap dosa, mari cermati dan renungkan ungkapan atsar sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, dimana beliau berkata, "Sesungguhnya seorang mukmin itu melihat dosa-dosanya seperti orang yang sedang duduk di bawah kaki bukit dan khawatir kalau-kalau bukit itu akan runtuh menimpanya. Adapun orang yang fajir (pendurhaka) maka dia melihat dosa-dosanya hanya seolah-olah seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya lalu dia usir dengan cara begini." Abu Syihab berkata, "Maksudnya adalah dengan sekedar menggerakkan tangan di atas hidungnya." … (lihat Shahih Al-Bukhari)
Adapun tentang syarat kedua, yakni bahwa seorang yang tobat harus meninggalkan dosa yang telah atau sedang diperbuat, maka tuntutannya adalah harus bersemangat kuat dan bertekad bulat untuk benar-benar meninggalkan dosa dan maksiat itu. Jadi harus ada semangat kuat dan tekad bulat. Tidak cukup dengan sekadar keinginan begitu saja, apalagi jika hanya sebatas lintasan pikiran. Jadi ketika seseorang beristighfar dalam rangka tobat dari suatu dosa misalnya, sangat penting jika itu dilakukan sambil bermuhasabah dan bertanya pada diri sendiri misalnya: sudah penuh dan bulatkah tekadku untuk meninggalkan dosa dan maksiat itu? Karena meskipun seseorang telah banyak beristighfar, tapi jika semangatnya belum benar-benar kuat dan tekadnya belum bulat, maka tobatpun sangat mungkin akan tetap terkendala. Dan itu, tanpa tersadari, ternyata sering terjadi pada orang-orang yang bertobat.
Disamping itu, yang menjadi konsekuensi mendasar dari syarat kedua ini adalah, bahwa kejujuran tekad dalam meninggalkan suatu dosa juga harus dibuktikan dengan sebisanya meninggalkan, melepaskan, menjauhkan, atau membuang segala sesuatu, apapun bentuknya, yang berhubungan atau yang menyambungkan dengan dosa itu. Karena jika tidak, maka hal itupun akan menjadi bagian kendala penting bagi efektifnya tobat yang dilakukan.
Sedangkan tuntutan dan konsekuensi dari syarat ketiga yang berupa azam (tekad kuat) untuk tidak mengulangi lagi dosa yang sama, adalah dengan upaya riil seoptimal mungkin untuk sebisanya menutup setiap pintu akses bagi kemungkinan terulangnya kembali dosa dan maksiat tersebut di masa mendatang. Nah, tidak sedikit kendala utama tobat itu juga berasal dari kekurangan dan kelemahan dalam memenuhi syarat ketiga ini. Dan bentuknya minimal dua. Pertama, kurang kuatnya keinginan sehingga tidak sampai pada derajat azam yang berarti semangat kuat dan tekad bulat. Dan kedua, ketidak seriusan atau kekurang sungguhan atau juga kelemahan dalam upaya menutup pintu akses dan peluang jalan, yang bisa memungkinkan terulangnya dosa-dosa itu lagi!
Akhirnya, sekali lagi Ramadhan sudah semakin dekat. Maka mari membersihkan hati dan menyucikan jiwa dengan taubatan nashuha. Syaratnya, pertama mari jujur menyesali dosa-dosa karena takut kepada Allah Ta’ala. Kedua, tinggalkanlah maksiat, buanglah dan jauhkanlah segala yang terkait dengannya. Ketiga, berazam benar-benar untuk tidak mengulangi lagi dengan bukti sebisanya selalu berupaya menutup akses untuk kembali kepada dosa-dosa itu lagi, dan lagi.. Keempat, juga jangan lupa istighfar sebanyak2nya, dan kelima, tak henti mengistimewakan amal selagi bisa. SEMOGA!!
Dalam sebuah hadits: "Jika seorang hamba melakukan suatu dosa, maka satu noktah (noda) hitampun langsung menempel di hatinya. Jika ia segera sadar, tobat dan beristighfar, maka hatinyapun menjadi bersih kembali. Adapun apabila ia malah menambah dengan dosa-dosa lain, maka akan bertambah pulalah noktah-noktah hitam itu, sampai (jika tetap tidak tobat) benar-benar menutupi seluruh hatinya…" (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan ain-lain).
Oleh karena itu perintah, seruan dan anjuran untuk bertobat ini, tersebar di banyak ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): "Dan bertobatlah kalian semuanya kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung dan berjaya" (QS. An-Nuur: 31). Di dalam ayat lain: “Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kalian kepada Allah dengan cara taubatan nashuha (tobat yang benar-benar murni dan tulus)…” (QS. At-Tahriim: 8).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Sungguh aku beristighfar dan bertobat kepada Allah dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali” (HR. Al-Bukhari). Dalam riwayat lain: "Wahai umat manusia, bertobatlah kepada Allah. Sungguh aku bertobat kepada Allah dalam sehari seratus kali" (HR. Muslim).
Tentu saja masih banyak lagi ayat dan hadits yang memerintahkan dan menganjurkan kita untuk bertobat, juga yang menjelaskan tentang beragamnya fadhilah dan keutamaan syariah tobat ini. Namun yang menjadi pertanyaan adalah: bagaimana cara bertobat? Apa itu taubatan nashuha? Bagaimana tobat dan istighfar yang disamping menghapuskan dosa, menyucikan jiwa dan membersihkan hati, juga sekaligus benar-benar efektif untuk menutup jalan bagi terulangnya dosa-dosa itu lagi?
Karena tidak sedikit orang yang mengeluhkan kondisi diri dan hati mereka, serta menanyakan dan mempertanyakan, mengapa dosa-dosa masih saja selalu terulang lagi dan lagi? Padahal mereka merasa telah melakukan tobat darinya dan telah beristighfar sampai ratusan atau bahkan ribuan kali?.
Yang perlu diperhatikan dan diingat disini bahwa, hal terpenting dalam pelaksanaan tobat dan istighfar itu, adalah sikap hati yang benar-benar jujur dan sungguh-sungguh dalam melakukan taubatan nashuha. Dimana secara totalitas kembali kepada Allah Ta’ala dengan upaya sepenuhnya menjalankan syarat-syarat dan konsekuensi tobat.
Nah, umumnya faktor penyebab tidak atau kurang efektifnya tobat sebagai penutup pintu terulangnya dosa-dosa, adalah karena kurangnya kesungguhan dan sikap totalitas hati ini dalam memenuhi tuntutan dan konsekuensi dari syarat2 tobat yang telah disebutkan oleh para ulama. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan bahwa, syarat tobat itu ada tiga: menyesali dosa yang telah diperbuat, meninggalkannya, dan berazam (bertekad) tidak mengulanginya lagi di kemudian hari. Adapun jika dosa dan kesalahan itu berhubungan dengan pelanggaran terhadap hak sesama, maka ada satu lagi syarat tambahan, syarat keempat, yakni: menyelesaikan urusan dengan pihak yang haknya dilanggar itu. Namun disini kita hanya akan fokus pada tiga syarat pertama. Karena itulah inti dan esensi dari penunaian tobat.
Selanjutnya, mungkin saja seseorang yang bertobat telah merasa memenuhi ketiga syarat utama tersebut. Dan untuk membuktikan tobatnya, iapun telah memperbanyak istighfar, shalat, puasa, bacaan atau bahkan hafalan Al-Qur’an dan amal-amal saleh lainnya. Namun yang “aneh” mengapa semua itu seakan-akan tidak cukup mempan dan tidak efektif? Karena tidak lama berselang, ternyata dosa-dosa yang sama serasa begitu mudahnya kembali dan terulang lagi dan lagi?
Memang bukan merupakan syarat sahnya taubatan nashuha, bahwa dosa yang telah dilakukan tobat darinya itu harus dijamin tidak akan pernah terulang lagi. Demikian pula bukanlah itu maksud dari syarat ketiga diatas. Sehingga tetap saja ada kemungkinan terulangnya dosa tertentu suatu saat, meskipun sebenarnya sang pelaku telah pernah bertobat dengan taubatan nashuha. Dan hal itupun tidak membatalkan tobat yang telah dilakukan. Juga tidak selalu mengindikasikan bahwa tobatnya dulu itu bukan taubatan nashuha.
Jadi sekali lagi, meskipun seseorang telah melakukan tobat yang sungguh-sungguh sesuai dengan syarat-syaratnya, tetap tidak tertutup kemungkinan bagi terulangnya dosa yang sama sewaktu-waktu. Hanya saja sifatnya tetap sebagai pengecualian, sehingga kejadiannyapun juga jarang.
Namun yang kita bicarakan bukanlah tentang kondisi pengecualian ini. Melainkan seputar kondisi terulangnya dosa-dosa setelah dilakukan tobat, yang sifat dan terjadinya bisa dikatakan agak fenomenal, karena memang dialami oleh banyak pihak. Yakni – seperti yang digambarkan dimuka – tentang tobat yang dilakukan dengan berbagai sarana pendukung dan pembuktiannya, tapi dirasa tidak begitu efektif untuk menghentikan tindak maksiat dan prilaku dosa. Ada apa gerangan? Apa yang salah atau kurang? Padahal ketiga syarat itu rasanya telah terpenuhi semuanya?
Pertanyaan-pertanyaan barusan ini bagus. Karena upaya menjawabnya insya-allah akan menyingkap tabir “misteri”. Kaidahnya bahwa, tobat semestinya menciptakan perubahan signifikan dalam diri dan kehidupan seorang mukmin atau mukminah, melalui penghentian dosa dan maksiat. Sehingga ketika hal itu tidak terjadi, maka hampir bisa dipastikan bahwa, jelas “ada apa-apa” dengan tobat yang dilakukan. Dan meskipun benar bahwa, syarat-syarat tobat dirasa telah terpenuhi, namun jelas ada juga fakta benar lain. Yakni bahwa, hampir pasti masih ada yang salah dan yang kurang dalam pemenuhan masing-masing syarat tersebut. Dan kesalahan atau kekurangan itulah yang memang merupakan kendala utama tobat pada umumnya. Sehingga, karenanya, tobat terasa hambar, karena tidak dirasakan benar-benar merubah secara signifikan, atau serasa tidak “menggigit” dalam mencegah dan menghentikan maksiat dan dosa. Istighfar tidak henti dilantunkan, namun maksiat dan dosa juga tetap berlasung terus, hampir tanpa tercegah atau terhentikan oleh istighfar-istighfar itu (?!).
Ya. Sekali lagi apa yang salah dan yang kurang dari pemenuhan syarat tobat tersebut? Yang salah atau yang kurang adalah tingkat kesungguhan dan kejujuran serta kadar totalitas dalam memenuhi tuntutan dan konsekuensi setiap syarat. Benar, Setiap syarat dari syarat-syarat tobat itu memiliki tuntutan dan konsekuensi, yang mesti dipenuhi untuk menjadikan tobat benar-benar sebagai taubatan nashuha, yang pasti akan langsung terasa pengaruh besarnya dalam penghentian maksiat dan dosa, serta perubahan signifikannya dalam diri dan prilaku yang bersangkutan.
Tuntutan dan konsekuensi dari syarat pertama yang berupa penyesalan atas dosa yang telah diperbuat, adalah bahwa penyesalan itu harus benar-benar terjadi dan muncul dari kesadaran keimanan berupa rasa takut dan malu kepada Allah. Bukan hanya karena takut akan akibat buruknya di dunia saja misalnya, atau hanya disebabkan oleh rasa malu kepada masyarakat semata. Disamping itu, yang tidak kalah pentingnya, adalah bahwa rasa penyesalan itu haruslah minimal setara dengan tingkat dan kadar dosa, atau bahkan lebih tinggi lagi, asalkan tidak sampai berlebihan. Ini yang umumnya kurang tersadari dengan baik, sehingga akibatnya kurang bisa terpenuhi secara memadai. Misalnya: seseorang yang berdosa dengan dosa besar, namun penyesalan yang mendasari upaya tobatnya hanya berlevel untuk dosa kecil saja. Sehingga logis jika tidak atau kurang efektif pengaruh dan hasil tobatnya untuk menghentikan dosa besar. Karena memang kurang atau tidak selevel. Ibaratnya seperti orang yang memiliki tanggungan hutang, yang ia akui dan sanggupi untuk membayarnya. Namun ternyata pengakuan dan kesanggupan pengembalian itu tetap tidak diterima oleh pihak pemberi hutang, dan sebaliknya justru membuatnya marah besar! Ya, bagaimana tidak marah? Lha wong yang diakui oleh yang bersangkutan hanya 1 juta saja misalnya, padahal sebenarnya hutangnya mencapai 100 juta!
Sebagai tambahan gambaran tentang bagaimana seharusnya sikap dan rasa takut serta penyesalan seorang mukmin dan mukminah terhadap dosa, mari cermati dan renungkan ungkapan atsar sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, dimana beliau berkata, "Sesungguhnya seorang mukmin itu melihat dosa-dosanya seperti orang yang sedang duduk di bawah kaki bukit dan khawatir kalau-kalau bukit itu akan runtuh menimpanya. Adapun orang yang fajir (pendurhaka) maka dia melihat dosa-dosanya hanya seolah-olah seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya lalu dia usir dengan cara begini." Abu Syihab berkata, "Maksudnya adalah dengan sekedar menggerakkan tangan di atas hidungnya." … (lihat Shahih Al-Bukhari)
Adapun tentang syarat kedua, yakni bahwa seorang yang tobat harus meninggalkan dosa yang telah atau sedang diperbuat, maka tuntutannya adalah harus bersemangat kuat dan bertekad bulat untuk benar-benar meninggalkan dosa dan maksiat itu. Jadi harus ada semangat kuat dan tekad bulat. Tidak cukup dengan sekadar keinginan begitu saja, apalagi jika hanya sebatas lintasan pikiran. Jadi ketika seseorang beristighfar dalam rangka tobat dari suatu dosa misalnya, sangat penting jika itu dilakukan sambil bermuhasabah dan bertanya pada diri sendiri misalnya: sudah penuh dan bulatkah tekadku untuk meninggalkan dosa dan maksiat itu? Karena meskipun seseorang telah banyak beristighfar, tapi jika semangatnya belum benar-benar kuat dan tekadnya belum bulat, maka tobatpun sangat mungkin akan tetap terkendala. Dan itu, tanpa tersadari, ternyata sering terjadi pada orang-orang yang bertobat.
Disamping itu, yang menjadi konsekuensi mendasar dari syarat kedua ini adalah, bahwa kejujuran tekad dalam meninggalkan suatu dosa juga harus dibuktikan dengan sebisanya meninggalkan, melepaskan, menjauhkan, atau membuang segala sesuatu, apapun bentuknya, yang berhubungan atau yang menyambungkan dengan dosa itu. Karena jika tidak, maka hal itupun akan menjadi bagian kendala penting bagi efektifnya tobat yang dilakukan.
Sedangkan tuntutan dan konsekuensi dari syarat ketiga yang berupa azam (tekad kuat) untuk tidak mengulangi lagi dosa yang sama, adalah dengan upaya riil seoptimal mungkin untuk sebisanya menutup setiap pintu akses bagi kemungkinan terulangnya kembali dosa dan maksiat tersebut di masa mendatang. Nah, tidak sedikit kendala utama tobat itu juga berasal dari kekurangan dan kelemahan dalam memenuhi syarat ketiga ini. Dan bentuknya minimal dua. Pertama, kurang kuatnya keinginan sehingga tidak sampai pada derajat azam yang berarti semangat kuat dan tekad bulat. Dan kedua, ketidak seriusan atau kekurang sungguhan atau juga kelemahan dalam upaya menutup pintu akses dan peluang jalan, yang bisa memungkinkan terulangnya dosa-dosa itu lagi!
Akhirnya, sekali lagi Ramadhan sudah semakin dekat. Maka mari membersihkan hati dan menyucikan jiwa dengan taubatan nashuha. Syaratnya, pertama mari jujur menyesali dosa-dosa karena takut kepada Allah Ta’ala. Kedua, tinggalkanlah maksiat, buanglah dan jauhkanlah segala yang terkait dengannya. Ketiga, berazam benar-benar untuk tidak mengulangi lagi dengan bukti sebisanya selalu berupaya menutup akses untuk kembali kepada dosa-dosa itu lagi, dan lagi.. Keempat, juga jangan lupa istighfar sebanyak2nya, dan kelima, tak henti mengistimewakan amal selagi bisa. SEMOGA!!
(H. Ahmad Mudzoffar Jufri, MA).